Senin, 28 Juli 2008

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir

Peluang dan Tantangan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia PDF Cetak E-mail
Sumber : Ust. Abu Bakar Baasyir
Selasa, 15 Juli 2008

Arti “dien” tidak hanya “agama/ugama” dalam pengertian sansekerta yang bermakna “tidak rusak” dan dipahami sebagai aturan ritual. Ia berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna: al-itaa’ah (ketaatan); al-qahru wal-ghalabah (tunduk dan takluk); al-hudud wal-qawanin (hukum dan undang-undang); dan al-jazaa’ (balasan). Dien dari sisi sumbernya, terbagi menjadi dua: dienullah (Undang-Undang Allah) dan dienunnaas (Undang-Undang manusia). Dienullah adalah Islam Ciri-ciri utamanya adalah ia bersumber dari wahyu Allah sejak nabi-nabi terdahulu. Ciri lain, ia mutlak benar dan syumul (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sifat ke-syumulan,-nya berlaku universal; mencakup seluruh bangsa pada setiap zaman. Allah Ta’ala menegaskan: “Sesungguhnya, dien yang benardi sisi Allah hanyalah Islam.”

Adapun Dien Allah yang terakhir adalah Al Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan penyempurnaan Dien-Dien sebelumnya oleh karenanya Dienul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Nasikh (penghapus) atas segala Dien sebelumnya.

Sedangkan dienun-naas adalah Undang-Undang manusia. Sumber ajarannya adalah otak manusia. Nilai-nilainya sangat tergantung pada subyektifitas manusia yang sangat beragam. Dan yang pasti, ia bathil di sisi Allah. Jika diamalkan hanya akan membawa bencana dunia di akhirat. Karenanya, tak ada pilihan bagi manusia kecuali Dinul Islam bila ingin selamat dunia-akhirat.

Dengan demikian, memeluk dienul-Islam berarti siap taat, patuh, dan berhukum kepada Allah Ta’ala. Dienul-Islam adalah manhajul hayah (sebuah sistem hidup). Manusia yang enggan berhukum dengan hukum Allah, hanya akan menghantarkan hidupnya menjadi tak bermakna; mengantarkannya pada derajat rendah bahkan lebih rendah dari binatang. ; dan mengantarkan kepada kekufuran.

Ibnu Taimiyyah, Ulama terkemuka abad 8 H berkata:

“Tidak dapat diragukan bahwa orang yang tidak meyakini kewajiban memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya, maka dia adalah kafir. Siapa yang secara sukarela memutuskan perkara di antara manusia menurut apa yang dilihatnya adil, tanpa mengikuti apa yang disyariatkan oleh Allah, maka dia adalah kafir. Setiap unsur tentu mendambakan keadilan, dan keadilan itu bisa berupa model yang dibuat para pemimpinnya. Bahkan banyak orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam (mengaku sebagai seorang muslim) namun memutuskan perkara menurut tradisi mereka, padahal Allah tidak memerintahkan yang demikian itu; seperti yang dilakukan pemuka Baduy, mereka ditaati dan dipatuhi, mereka berpendapat bahwa hukum tiulah yang harus ditaati, tanpa Alkitan dan Assunah maka hal ini merupakan kekufuran. Banyak orang memeluk Islam, namun mereka tidak memutuskan perkara, melainkan menurut tradisi yang berlaku. Jika mereka tahu bahwa memutuskan perkara tidak boleh dilakukan kecuali menurut apa yang diturunkan Allah, tapi mereka tidak melakukannya bahkan merasa lebih berkenan memutuskan perkara meski bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir. Sebab, selagi manusia menghalalkan hal yang haram yang sudah disepakati keharamannya, atau mengharamkan hal yang halal yang sudah disepakati kehalalannya, atau mengganti ketetapan syariat yang sudah disepakati, maka dia adalah kafir dan murtad menurut kesepakatan fuqaha’. Tentang orang semacam inilah turun firman Allah; Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir , dengan kata lain, dia memperkenankan memutuskan perkara menurut selain yang diturunkan Allah.

idak ada manusia yang lebih mengerti tentang Islam kecuali Nabiyullah Muhammad SAW. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah mengamalkan dan menegakkan syariat Islam dalam sebuah institusi Negara bernama Madinah. Seperti dimaklumi, bahwa sunnah (tuntunan) Rasulullah itu bisa berupa qaul (perkataan); fi’il (perbuatan); dan taqrir (persetujuan). Perbuatan Rasulullah SAW dalam mendirikan negara Madinah ini, tentu bukan termasuk kategori jibiliyah atau khususiyah melainkan bayan lid-dien (keterangan cara mengamalkan Ad Dien sebagai manifestasi dari tugas mengajarkan Ad Dien). Maknanya, fi’liyah disini adalah dasar syar’i.

Dalam kajian syiyasah syar’iyyah (politik syar’i), hal ini lazim disebut Imamah. Imam Mawardi dalam “Al-Ahkam As-Shulthaniyah” mendefinisikan Imamah sebagai: “posisi khilafah nubuwwah (pengganti Nabi) dalam mengemban tugas hirasatud-dien (menjaga Ad Dien) dan siyasatud-dunya bihi (mengatur dunia bersandar nilai dien)”.

Fakta menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dalam melakukan tigas “hirasatud dien” dan “siyasatud dunya bid-dien” adalah dalam konteks kenegaraan (Imamah). Di mana Rasulullah berlaku sebagai Imam, penduduk Madinah selaku rakyat yang wujudnya pluralitas (mukmin dan kafir), dan ajaran Islam sebagai undang-undang positifnya. Dalam memutuskan perkara-perkara kenegaraan dan kerakyatan, Rasulullah selalu mengacu pada dasar syariat Islam sebagai supremasi hukum.

Syari’at ini terus dijalankan oleh Sahabat dan Tabi’in. Sehingga Ibnu Khaldun – sosok yang dikenal sebagai pelopor sosiologi-, menyatakan bahwa kewajiban Imamah statusnya mencapai derajat ijma’ Sohabi (Kesepakatan Para Sahabat).ijma’ Sohabi adalah dasar syar’i yang wajib diikuti. Sedangkan

Ia berkata:

“Mengangkat Imam itu wajib, dan kewajibannya telah diketahui syara’ dengan ijma’shahabat dan tabiin. Karena ketika Rasulullah SAW wafat, para shahabat bergegas-gegas membaiat Abu Bakar RA dan menyerahkan pertimbangan-pertimbangan kepadanya dalam urusan-urusan mereka. Demikian juga yang terjadi di setiap masa (setelahnya). Hal ini menjadi ketetapan ijma’ Sohabi yang menunjukkan wajibnya mengangkat Imam.

Allah Ta’ala juga berfirman:

Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan taat kepada ulil amri. Adanya perintah untuk taat menunjukkan wajibnya mengangkut ulil amri, karena Allah jelas tidak akan memerintahkan untuk taat kepada sesuatu yang bersifat imajiner. Juga Allah tidak akan mewajibkan taat kepada sesuatu yang kategori keberadaannya adalah sunnah (mandub). Artinya, perintah taat kepada ulil amri menuntuk kewajiban untuk mengadakannya. Ini adalah dalil bahwa eksistensi imam muslimin adalah sebuah kewajiban.

Dampak Positif Penerapan Syari’at Islam

Syariat Islam selalu dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariah juga dimaksudkan untuk menghilangkan mafsadah (kerusakan) atau minimal menguranginya. Hal ini merupakan jaminan prinsip yang oleh Ahli Ushul biasa disebut sebagai “dharuriyat khamsah”.

Dharuriyat khamsah tersebut adalah: hifzhud-dien (penjagaan din/keyakinan), hifzhun-nafs (penjagaan jiwa), hifznul-aqlhifzhun-nasl (penjagaan keturunan), dan hifzhul-mal (penjagaan harta). (penjagaan akal),

Artinya, syariat Islam membawa misi bagi lahirnya kelima maslahat di atas. Dalam hal ini hifzhud-dien (penjagaan keyakinan) syari’at Islam menetapkan bahwa Dinul Islam wajib dijaga kemurniannya sehingga tidak mudah diobok-obok oleh musuh-musuhnya seperti yang terjadi sekarang ini terutama di Indonesia. Dalam hifzhun-nafs (penjagaan jiwa), syari’at Islam menetapkan bahwa jiwa manusia wajib dijaga keamanannya dan tidak boleh dibunuh kecuali yang telah dibenarkan oleh Syariat. Dalam hifznul-aql (penjagaan akal), syari’at Islam menetapkan bahwa akal manusia wajib dijaga kesehatannya dan gangguan-gangguan syaraf disebabkan minuman keras. Dalam hifzhnun-nasl (penjagaan keturunan), syari’at Islam menetapkan bahwa keturunan wajib melalui pernikahan yang syah tidak boleh melalui perzinaan Dan dalam hifzhul-mal (penjagaan harta), syari’at Islam menetapkan bahwa harta dijaga dari dua sisi: a. sisi keamanannya, dengan menerapkan undang-undang pencurian yang keras; b. sisi kebersihannya, dengan melarang sistem mencari rezeki yang haram seperti riba dan lain-lain.

Penerapan pengaturan di atas, baik dalam wilayah individu maupun masyarakat, akan membawa pengaruh positif yang luar biasa.

Peluang dan Tantangan (Konteks Surakarta)

Seperti telah diuraikan, bahwa tak ada pilihan lain bagi setiap muslim selain tunduk dan patuh kepada syari’at Islam. Ini adalah prinsip hidup yang wajib diperjuangkan. (Al Hujuran: 15)

Formalisasi penerapan syari’at Islam dalam lembaga negara, juga merupakan tuntutan aqidah. Imamah adalah sarana untuk menerapkan syari’at Islam secara utuh dan kaffah sebagaimana dicontohkan oelh Rasulullah SAW.

Dalam konteks Indonesia, penerapan syari’at Islam akan terhalang oleh supremasi hukum yang tidak menganut Syariat Islam oleh karenanya hukum tersebut wajib dirombak sehingga tidak menghalangi penerapan Syariat Islam. Meski demikian, ada celah yang wajib dimanfaatkan oleh umat Islam sebagai manifestasi dari tauhidnya yakni UU Otonomi Daerah; termasuk daerah Surakarta. Dalam hal ini berlaku kaidah ushul: “Maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu.” (Apa yang belum bisa diraih secara total bukan berarti ditinggal seluruhnya).

Kaidah umum taklif (perintah) dalam Islam menyatakan bahwa kita dituntut bertakwa kepada Allah sesuai bagas kemampuan kita masing-masing. Mengukur kemampuan di sini, tentu bukan atas dasar pertimbangan nafsu, tapi atas dasar kenyataan kongkrit dengan selalu berusaha secara maksimal, dan ikhlas.

Sebagai sebuah tahapan, memanfaatkan celah UU Otonomi Daerah harus dilalui sembari terus berupaya dan berupaya agar ke depan Islam dapat menjadi supremasi hukum di negeri ini secara total. Karena Menjadikan Islam sebagai satu-satunya undang-undang adalah tuntutan tauhid yang bersifat harga mati bagi setiap muslim. Tidak menutup kemungkinan hal ini akan menghadapi banyak tantangan, karena memang demikian sunnatullah oleh karena itu tantangan wajib dihadapi dengan 2 tekad: sampai menang atau mati di jalan Allah. Karenanya, jangan kita lepas dari cara berjuang yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang rumusnya adalah: dakwah dan jihad.

Surakarta, 23 Rabiul Awal 1428
14 April 2007

Ust. Abu Bakar Ba’asyir

Tidak ada komentar: